Kamis, 31 Desember 2015

HIPERSENSITIVITAS

Nama Kelompok 1. Anisa DC. - 14.0387 2. Rizka M. - 14.0389 3. Nyuwinda M. - 14.0340 HIPERSENSITIVITAS Hipersensitivitas adalah reaksi berlebihan, tidak diinginkan karena terlalu senisitifnya respon imun (merusak, menghasilkan ketidaknyamanan, dan terkadang berakibat fatal) yang dihasilkan oleh sistem kekebalan normal. Berdasarkan kecepatan dan mekanisme imun yang terjadi, hipersensitivitas terbagi menjadi empat tipe yaitu tipe I, tipe II , tipe III, dan tipe IV. Hipersensitifitas termasuk kesalahan respon terhadap imun karena respon imun terlalu sensitif, sehingga dapat merusak jaringan tubuh sendiri. Hipersensitivitas tipe I (hipersensitivitas langsung atau anafilaktik) Berhubungan dengan kulit, mata, nasofaring, jaringan bronkopulmonari, dan saluran gastrointestinal. Reaksi tipe I timbul kurang dari 1 jam sesudah tubuh terkena alergen yang sama untuk kedua kalinya. Pada reaksi tipe ini, yang berperan adalah antibodi imunoglobulin E (IgE), sel mast ataupun basofil, dan sifat genetik seseorang yang cendrung terkena alergi (atopi). Alergen berkaitan silang dengan IgE, kemudian sel mast dan basofil mengeluarkan amina vasoaktif dan mediator kimiawi lainnya sehingga timbul manifestasi. Manifestasi yang dapat ditimbulkan dari reaksi ini adalah berupa anafilaksis, urtikaria, asma bronchial, atau dermatitis. Uji diagnortik yang dapat digunakan untuk mendeteksi hipersensitivitas tipe I adalah tes kulit (tusukan atau intradermal) dan ELISA untuk mengukur IgE total dan antibodi IgE spesifik untuk melawan alergen (penyebab alergi) yang dicurigai. Hipersensitivitas tipe II (reaksi sitotoksik atau sitolisis) Disebabkan oleh antibodi yang berupa imunoglobulin G (IgG) dan imunoglobulin E (IgE) untuk melawan antigen pada permukaan sel dan matriks ekstraseluler. Mekanisme kerja hipersensitivitas tipe II yaitu IgG dan IgM berikatan dengan antigen di permukaan sel, kemudian fagositosis sel target atau lisis sel target oleh komplemen (ADCC dan atau antibodi) setelah itu mediator kimiawi dikeluarkan dan timbul manifestasi berupa anemia hemolitik autoimun, eritoblastosis fetalis, sindrom Good Pasture pemvigus vulgaris. Anemia Hemolitik Autoimun dipicu oleh obat-obatan seperti pensilin yang dapat menempel pada permukaan sel darah merah dan berperan seperti hapten untuk produksi antibodi kemudian berkaitan dengan permukaan sel darah merah dan menyebabkan lisis sel darah merah. Sindrom Goodpasture disebabkan IgG bereaksi dengan membran permukaan glomerulus, sehingga menyebabkan kerusakan pada ginjal. Pemfigus vulgaris disebabkan IgG bereaksi dengan senyawa intraseluler diantara sel epidermal. Hipersensitivitas tipe III (hipersensitivitas kompleks imun) Disebabkan adanya pengendapan kompleks antigen-antibodi yang kecil dan terlarut dalam jaringan. Hal ini ditandai dengan timbulnya inflamasi atau peradangan. Pada kondisi normal, kompleks antigen-anibodi yang diproduksi dalam jumlah besar dan seimbang akan dibersihkan dengan adanya dagosit. Namun adanya bakteri, virus, lingkungan antigen seperti spora fungi, bahan sayuran, dan hewan yang persisten akan membuat tubuh secara otomatis memproduksi antibodi terhadap senyawa asing tersebut, sehingga terjadi pengendapan kompleks antigen-antibodi secara terus menerus. Mekanisme kerja hipersensitivitas tipe III yaitu terbentuknya kompleks antigen-antibodi yang sulit difagosit, mengaktifkan komplemen, menarik perhatian neutrofil, pelepasan enzim lisosom, pengeluaran mediator kimiawi dan timbul manifestasi berupa reaksi Arthus, serum sickness, LES, AR, Glomerulonefritis, dan penumonitis. Hipersensitivitas tipe IV diperantarai oleh sel atau tipe lambat (delay-tipe). Reaksi ini terjadi karena aktivitas perusakan jaringan oleh sel T dan makrofag. Dalam reaksi ini membutuhkan waktu yang cukup lama untuk aktivasi dan diferensiasi sel T, sekresi sitokin dan kemokin, serta akumulasi makrofag dan leukosit lain pada daerah yang terkena paparan. Beberapa contoh umum dari hipersensitivitas tipe IV adalah hipersensitivitas pneumonitis, hipersensitivitas kontak (kontak dermatitis), dan reaksi hipersensitivitas tipe lambat kronis. Reaksi ini dibedakan menjadi beberapa reaksi, seperti tuberkulin, reaksi inflamasi granulosa, dan reaksi penolakan transplant. Mekanisme kerja hipersensitivitas tipe IV yaitu limfosit T tersensitasi, pelepasan sitokin dan mediator lainnya atau sitotoksik yang diperantarai oleh sel T langsung, timbul menifestasi berupa tuberkulosis, dermatitis kontak, dan reaksi penolakan transplant. Imun seharusnya dapat melindungi tubuh terhadap pengaruh biologis luar dengan mengidentifikasi dan membunuh patogen serta sel tumor. Penanganan hipersensitivitas 1. Menghindari allergen (penyebab alergi). 2. Terapi farmakologis dengan antihistamin, kortikosteroid, adrenergik dan kromolin sodium. · Antihistamin berperan sebagai antagonis kompetitif, sehingga lebih efektif dalam mencegah daripada melawan kerja histamine. · Kortikosteroid merupakan obat paling kuat yang tersedia untuk pengobatan alergi. Steroid topikal mempunyai pengaruh lokal langsung yang meliputi pengurangan radang, edema, produksi mukus, permeabilitas vaskuler, dan kadar IgE mukosa. · Adrenergik menghambat reaksi fase cepat maupun lambat terhadap alergen inhalen, dan menghambat hiperesponsivitas bronkial akibat alergen selama 34 jam. · Kromolin sodium adalah garam disodium 1,3-bis-2-hidroksipropan. Zat ini merupakan analog kimia obat khellin yang mempunyai sifat merelaksasikan otot polos. Obat ini tidak mempunyai sifat bronkodilator karenanya obat ini tidak efektif unutk pengobatan asma akut. Kromolin paling bermanfaat pada asma alergika atau ekstrinsik. 3. Imunoterapi, diindikasikan untuk penderita rinitis alergi, asma yang diperantarai IgE atau alergi terhadap serangga. Imunoterapi dapat menghambat pelepasan histamin dari basofil pada tantangan dengan antigen E. 4. Profilaksis. Profilaksis dengan steroid anabolik atau plasmin inhibitor seperti traneksamat, sering kali sangat efektif untuk urtikaria atau angioedema.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar